Font Size

SCREEN

Profile

Layout

Direction

Menu Style

Cpanel

Negara Versus Tengkulak

             Janji Presiden Joko Widodo untuk menekan harga daging sapi pada posisi Rp80.000,- per kg pada pertama Juli 2016, ternyata tidak terbukti. Harga daging sapi di pasar-pasar tradisional tetap bertengger di kisaran Rp130.000,- hingga Rp150.000,- per kg. Padahal, sebulan sebelumnya, Presiden optimis kebijakan itu akan mulus. Maka, untuk menekan harga, Presiden melalui Menteri Pertanian (Mentan) menggandeng 10 perusahaan importir menyiapkan 8.110 ton daging beku untuk kebutuhan 15 hari, terutama untuk wilayah Jabodetabek. 

            Selain impor daging beku, pemerintah juga telah melaksanakan operasi pasar daging murah yang dilakukan BUMN dan swasta, seperti Artha Graha dan PT Indoguna Utama untuk memasok daging ke 18 pasar tradisional. Operasi ini mendapatkan pengawalan ketat aparat keamanan. Tidak tanggung-tanggung, Satgas Pangan Bareskrim Polri diturunkan untuk mencegah adanya spekulan daging. Satgas juga bertugas mencegah spekulan harga sembako di 4.000 titik secara nasional.

            Hingga jelang Idul Fitri 1437 H, harga daging sapi dan sembako masih saja bergerak liar. Negara dan aparat pemerintah pun tampaknya telah sempoyongan menjinakkan harga. Pelbagai apologi dan argumentasi yang disampaikan pemerintah menjadi hambar. Pasar menjadi tidak terkendali, karena ditopang jalur rantai distribusi yang centang perenang. Implikasinya, pasar tidak bisa berjalan sempurna karena ruang informasi mengalami posisi asimetris (Stiglitz, 2005). Dalam konteks inilah, dalam ajaran Islam, Rasullah SAW melarang orang-orang kota menjualkan barang orang desa yang baru datang sebelum sampai di pasar (asimetris informasi), kendati orang itu saudara kandungnya sendiri (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Distorsi Pasar

Dalam mengurai kasus asimetri informasi pada harga sembako, yang kemudian berdampak gagapnya negara mengahadapi pasar, setidaknya dua ihwal yang perlu ditelaah. Pertama, mengonfirmasi hasil survei Indef (2015), bahwa dari sisi produsen Sembako, pihak petani misalnya, kurang memperoleh margin dari liarnya kenaikan harga. Petanihanya menikmati 40 persen keuntungan dari hasil panennya. Sedangkan 60 persennya adalah dimiliki para pedagang tengkulak, yang merupakan varian penting rantai distribusi.

            Kedua, mengonfirmasi hasil survei Susenas 2009 – 2013, berkaitan data konsumsi beberapa bahan makanan pokok (BPS, 2015). Bahwa dari 33 jenis bahan makanan, hanya 13 yang mengalami pertumbuhan konsumsi positif. Dari ke-13 jenis makanan itu, hanya tepung terigu, telur ayam, minyak goreng, daging ayam ras, dan susu bayi yang bisa disebut sebagai kebutuhan pokok (Sembako). Sementara sisanya, komoditas seperti kopi, teh, ataupun susu kental manis.

Kemudian, bahan makanan pokok yang sering mengalami kenaikan harga seperti beras, beras ketan, gula pasir, bawang merah maupun putih, daging sapi, hingga cabai merah, ternyata memiliki pertumbuhan konsumsi negatif. Pertanyaan menarik, bagaimana mungkin bahan makanan yang tingkat konsumsi per kapitanya setiap tahun mengalami pertumbuhan negatif, harganya terus terdongkrak naik? Dari hasil survei Indef dan Susenas, mendeskripsikan bahwa dari sisi petani (produsen komoditas yang bersangkutan), pun tidak terlihat perubahan signifikan terhadap tingkat kesejahteraan mereka. Maka, bisa dipastikan, di balik kesulitan negara menjinakkan harga, kelompok mafia (penguasa informasi) yang ditopang pedagang perantara/tengkulak telah mendeterminasi pasar.

Dalam konteks mendeterminasi pasar ini, Stephen Magee secara lihai mengulas dalam Factor Market Distortions, Production, Distribution, and the Pure Theory of International Trade (Quarterly Journal of Economics. Vol. 85/4). Siapapun yang mendeterminasi pasar, ia tentu menguasai informasi. Pihak yang mendeterminasi pasar, pada gilirrannya bisa mendistorsi pasar. Pelakunya bukan saja pihak distributor, pedagang perantara, mafia harga, dan produsen, tapi juga pihak negara. Namun, dalam konteks (pelaku) negara, kebijakan yang acapkali  dilakukan bukanlah jenis distorsi pasar murni, tapi hanya memanfaatkan instrumen floor price (menekan harga) dan ceiling price (mengangkat harga) yang tujuannya membantu sisi konsumen yang memiliki daya beli rendah dan sisi produsen dalam rangka meningkatkan produktivitasnya. Sehingga terkesan kondisi harga mengalami ketidaksempurnaan, price disequilibrium.

Distorsi pasar merupakan kondisi ketidaksempurnaan pasar, sehingga memicu kondisi ekonomi tidakefisien dan mengganggu agen ekonomi dalam memaksimalkan kesejahteraan rakyat (Deardorff, 2008).  Untuk mengukur kadar distorsi pasar, indikatornya, deviasi antara harga pasar yang ideal dan biaya marjinal,  yaitu perbedaan antara tingkat substitusi marjinal pada level konsumsi dan transformasi marjinal pada level produksi.  Sehingga sejatinya, biang utama distorsi adalah uncorrected eksternalitas (Sandmo, 2008).

Dengan demikian, distorsi pasar telah menciptakan kesenjangan perolehan marjin antara produsen komoditas dengan mafia harga di tingkat distribusi serta telah merampas maksimalisasi kesejahteraan rakyat. Rakyat menjadi kurang memiliki kemampuan menjangkau harga, karena ketidaksempurnaan informasi di pasar. Kenaikan grafik harga, tentu menekan daya beli rakyat, yang pada akhirnya rakyat kembali melarat dalam kubangan tuna-kesejahteraan.

 

Ketegasan

            Ketegasan Negara bukan sekadar pelibatan aparatur negara, BUMN, swasta, termasuk Polri dalam mengawal kebijakan menekan harga, tapi yang dibutuhkan mekanisme kelembagaan yang bisa berjalan ajek dan sistemik. Spirit untuk memberantas panjangnya rantai pasokan Sembako yang digelar pemerintah selama ini memang perlu diapresiasi. Namun, spirit harus disertai, setidaknya, pertama, mengembalikan fungsi Bulog ke khittahnya sesuai UU No.18/2012, yakni mengendalikan 11 komoditas pangan, baik stabilitas harga, ketersediaan, keterjangkauan, distribusi, bahkan produksi. Fungsi itu harus kuat dan tegas terutama dalam menghadapi gurita permainan kartel di tingkat operasional.

            Kedua, Sembako adalah komoditas strategis, karena itu negara harus campur tangan (intervensi). Bahkan diperlukan penguasaan pasar oleh negara, di mana negara yang mengatur lalu lintas barang, pasokan, hingga penentuan harga dengan memainkan instrumen floor price dan ceiling price.  Ketiga, perlu melakukan pengendalian harga di tingkat konsumen melalui bazar pangan murah secara masif, terencana, dan terlembaga. Untuk solusi jangka menengah dan panjang, setidaknya membonsai rantai pasok dan membentuk struktur pasar baru sehingga petani atau produsenkomoditas yang dimiliki rakyat dapat menikmati keuntungan secara laik

DIREKTORI KHUSUS