Font Size

SCREEN

Profile

Layout

Direction

Menu Style

Cpanel

Glorianisme Britania

Terhitung sejak 23 Juni 2016, rakyat Inggris telah menentukan opsi. Lewat perhelatan referendum, kubu Brexit (Britain Exit) berjaya dalam selisih tipis. Ini artinya, revolusi baru telah dijejakkan kembali oleh Inggris, mendaur ulang sejarah revolusi industri pada periode 1750-1850. Revolusi industri menjadi landasan terjadinya perubahan skala masif di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak sosial, ekonomi, dan budaya global.

Kubu Brexit, sedari awal, tentu telah mengalkulasi efek yang bakal ditimbulkan jika hengkang dari Uni Eropa (UE). Prediksi bakal terjadinya turbulensi keuangan global, di mana kurs poundsterling terpental, dianggap “risiko antara”. Bahkan kubu Brexit sudah menduga, Amerika sebagai mitra utama Inggris dalam perdagangan, dengan adanya perubahan monumental itu, bakal menimbulkan ketidakpastian masa depan hubungan bilateralnya. Di sektor riil, revolusi itu sudah disimulasi, bahwa kegiatan perdagangan akan menurunkan output ekonomi dunia.

Mengapa kubu Brexit begitu getol ingin “menalak UE”? Tentu, alasan utamanya glorianisme (glory) Britania Raya, kejayaan nasionalisme ekonomi dan politik. Nasib ekonomi Inggris semenjak bergabung dengan UE, selama 44 tahun, selalu mengalami stagnasi dan defisit. Investasi asing ke Inggris merosot tajam,  disandera pelbagai regulasi yang diciptakan UE. Sementara Jerman dan Perancis mengalami pertumbuhan positif dan surplus. Di sudut lain, negara-negara berkembang, seperti Tiongkok dan India, terus melakukan ekspansi menguasai ekonomi dunia.

Merujuk berita www.telegraph.co.uk/news/2016/ bahwa defisit perdagangan yang dialami Inggris terhadap negara-negara UE rerata 30 juta poundsterling per hari. Kontras dengan itu, neraca perdagangan Inggris terhadap negara-negara setiap benua di luar Eropa justru mengalami surplus. Bahkan, di luar UE, Inggris bebas menegosiasikan perjanjian perdagangan yang jauh lebih liberal dengan negara-negara dunia ketiga. Lebih dari itu, Inggris bisa menerapkan deregulasi yang jauh lebih kompetitif dan di sisi lain tercipta peluang menciptakan biaya kompetitif dan menawarkan proteksi lebih kuat lagi dari ancaman praktik dumping Tiongkok. Ini artinya, Inggris merasa UE sebagai the single market has been a disappointment.(Lihat: breaking news. www.wks.com/23/6).

 

Romantika Glorianisme

Sejak lebih empat dekade, peran Inggris di kancah percaturan ekonomi dan politik global, memang makin pudar. Karena itu, heroisme yang disuntikkan oleh para pendukung Brexit di masa kampanye, telah menyentak kesadaran publik Inggris, bahwa pentingnya Inggris bangkit kembali menggelorakan romantika glorianisme. Tentu, dengan opsi melepaskan diri dari UE, kebangkitan dan kejayaan itu bisa terwujud. Karena itu, faktor historis dan politik menjadi instrumen penting untuk kembali jaya dalam percaturan dunia.  

Sejarah mencatat, bahwa sejak 1578, seperti yang dirujuk Kenneth Andrews (198$) dalam buku, Trade, Plunder, and Settlement: Maritime Enterprise and the Genesis of the British Empire, 1480-1630. glorianisme awal Inggris dimulai. Melalui Ratu Elizabeth I telah memerintahkan Humphrey Gilbert untuk memulai penjelajahan seberang lautan. Gilbert kemudian berlayar menuju Hindia Barat dengan tujuan untuk membajak kapal-kapal Spanyol dan memulai kolonisasi di Amerika Utara. Namun, ekspedisi ini dihentikan sebelum mencapai Samudera Atlantik. Maka, pada 1583, Gilbert melakukan pelayaran kedua. 

Dalam pelayaran itu, ia berhasil mencapai new found land dan mengklaim wilayah itu sebagai koloni Inggris pertama. Selanjutnya, Walter Raleigh menggantikan Gilbert, kemudian diberi mandat oleh Ratu Elizabeth I pada tahun 1584. Raleigh berhasil membangun koloni di Roanoke (sekarang North Carolina). 

Setelah berdamai dengan Spanyol pada 1604, Inggris fokus mengambil alih wilayah-wilayah koloni negara lain dan membangun koloni seberang lautan sendiri. Imperium Britania mulai terbentuk pada awal abad ke-17, yang mencakup wilayah-wilayah di Amerika Utara dan pulau-pulau kecil di Karibia serta membentuk kongsi dagang bernama East India Company (EIC) untuk mengelola dan mengendalikan perdagangan di wilayah koloni Inggris. Periode ini hingga terjadinya Perang Kemerdekan Amerika yang memicu raibnya 13 koloni Inggris di akhir abad ke-18, dan kemudian disebut "Imperium Britania Pertama”. 

Pada periode-periode berikutnya, spirit glorianisme Inggris tidak pernah padam. Bahkan, Inggris acap kali melakukan lompatan-lompatan revolusioner. Maka, setelah menekuk Perancis dalam Perang Revolusi dan Perang Nopoleon (1792-1815), Kerajaan Bersatu Britania Raya yang terbentuk sebagai hasil penyatuan politik kerajaan Inggris dan Skotlandia (Porter, 1990). Dari sini, Britania Raya kembali muncul sebagai kekuatan angkatan laut dan ekonomi utama yang berwibawa dan tidak tersaingi di kancah global pada abad ke-19. Britania menjadi negara yang tak tertandingi di lautan. Dengan mengadopsi peran sebagai polisi global, Britania kemudian dikenal sebagai Pax Britannica. 

Periode ini juga menjadi momen pertumbuhan ekonomi, kolonial dan industri yang pesat bagi Britania Raya. Britania Raya (dengan Inggris sebagai kekuatan utama) digambarkan sebagai "bengkel dunia". Imprerium Britania tumbuh sebagai imperium terbesar yang mencakup India, sebagian besar Afrika, dan wilayah lainnya. Bersamaan dengan kontrol tidak resmi yang dimilikinya, posisi dominan Britania Raya dalam perdagangan dunia ini signfikan. Dengan demikian, secara efektif Britania Raya bisa mengendalikan perekonomian banyak Negara. Sementara itu, di dalam negeri terjadi pergeseran ke kebijakan perdagangan bebas yang berorientasi laissez-faire.. Negara ini mengalami peningkatan populasi yang besar selama abad tersebut, yang disertai dengan terjadinya gelombang urbanisasi masif. 

 

Momentum Brexit

Dengan momentum kemenangan Brexit, menjadi penting bagi Inggris untuk membangkitkan kejayaannya, menandingi ekspansi yang dilakukan Amerika dan Tiongkok pada abad XXI ini. Kemenangan Brexit, yang dikalkulasi berdampak pada turbulensi keuangan dan perdagangan global, tetap dianggap oleh pendukung Brexit hanyalah bersifat sementara dan sesudah itu akan menuju pada new equilibrium. Oleh karena itu, langkah yang perlu dilakukan kubu pro Brexit, yang secara politik akan menguasai pemerintah Inggris, setidaknya: pertama: menjaga stamina nasionalisme dan romantika glorianisme Britania Raya. Publik Inggris harus selalu disuntikkan spirit kejayaan dan kebesaran.

Kedua, kiblat perdagangan Inggris tentua akan beralih keluar Eropa. Bahkan, secara intensif akan mengajak mitra tradisionalnya, seperti Australia, Amerika, dan negara persemakmuran lainnya bersatu membangun kekuatan ekonomi. Demikian pula, Inggris akan secara intensif mengajak negara-negara emerging market, seperti Tiongkok, Korea, Indonesia, Turki, Afrika Selatan, dan lainnya untuk membentuk entitas ekonomi dunia.  Ketiga, Inggris akan semakin mandiri secara politik dan militer dalam rangka melakukan ekspansi global.

DIREKTORI KHUSUS