Font Size

SCREEN

Profile

Layout

Direction

Menu Style

Cpanel

KEGALAUAN TAX AMNESTY

Dengan disetujuinya UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) pada 28 Juni 2016, pemerintah dan DPR secara telanjang makin meneguhkan diri untuk menempuh kebijakan pragmatisme dalam mengendalikan kebijakan ekonomi di Tanah Air. Demi menutup defisit APBN, kebijakan tax amnesty diharapkan menjadi panacea (obat mujarab), yang pada gilirannya dapat mengatasi persoalan larinya modal ke luar negeri (capital outflow). Dalam waktu singkat, UU dan kebijakan yang menyertainya pun akan segera lahir.

Di satu sisi, dengan UU Pengampunan Pajak, maka segera sekitar 6.519 WNI kelas modal kakap yang sudah tercatat oleh pemerintah, telah menyimpan dananya di luar negeri, diharapkan melakukan repatriasi atau menarik dana warga negara Indonesia di luar negeri. Tentu, potensi repatriasi itu untuk menyokong penerimaan negara, yang disinyalir mencapai Rp 180 triliun. Dengan demikian, dengan masuknya dana itu membuat APBN 2016 akan menjadi sehat wal afiat.

Di sisi lain, UU tersebut, tentu akan menjebak pada ketergantungan penerimaan negara kepada pihak tertentu, yang justru selama ini, pihak tertentu itu sebagian telah tercatat memiliki masalah hukum. Ketergantungan seperti ini, tentu melenceng dari visi-misi Presiden Joko Widodo tentang Nawacita, terutama terkait poin 7), mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Implikasinya, Negara akhirnya dijebak pada kebijakan permakluman terhadap persoalan keadilan, antara yang patuh dan tidak, antara yang taat asas dan pengemplang., dan antara rakyat biasa dan rakyat bandit uang negara.  Maka, wajar jika penerapan pengampuan pajak sejatinya disandera oleh  kegalauan, yang dalam jangka panjang bisa berefek buruk pada tergerusnya tingkat kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dari Wajib Pajak, jika pengampunan pajak diterapkan degan skema yang tidak tepat. Padahal, mereka (Wajib Pajak) yang rekaman jejaknya jujur atau patuh, selama ini tidak memperoleh treatment berupa penghargaan atas kejujurannya.

Best Practices

Beberapa negara memang telah sukses menggelar penerapan pengampuan pajak, dengan beberapa model atau skema best practice. Misalnya, skema pengampunan pajak telah dilakukan oleh Italia pada November 2001, Menteri Keuangan Italia, Giulio Tremonti mencanangkan program tax amnesty berdurasi 6 bulan, yang bertajuk scudo fiscale. Rentang program pengampunan pajak tersebut berlangsung, kurang lebih sebanyak 56 miliar euro dana yang capital outflow ke luar negeri berhasil dikembalikan ke dalam negeri (capital inflow). Upaya itu menghasilkan tambahan “kocek” penerimaan pajak bagi negara sekitar 1,4 miliar euro. Tambahan penerimaan tersebut berkontribusi 0,4 persen dari total penerimaan pajak Italia pada periode fiskal tersebut.

Demikian juga, Pemerintah Polandia, melakukan hal yang sama pada September 2002 dan April 2003. Sementara itu, pada musim panas 2002, Kanselir Jerman, Gerhard Schroder mengangkat wacana tentang perlunya pengampunan pajak diberlakukan guna mengembalikan dana-dana modal milik warga negaranya yang diparkir di negara-negara tax haven. Kemudian, di Amerika Serikat, sebagian besar negara-negara bagiannya telah memperkenalkan pengampunan pajak. Sejak 1982, lebih dari 60 program pengampunan pajak telah dilaksanakan di negara bagian tersebut, dan memberikan hasil yang berbeda bagi upaya repatriasi penerimaan pajak di antara negara bagian tersebut.

Kendati best practices bisa dijadukan acuan, namun di India pemberlakukan pengampunan pajak justru menemui kegagalan karena tidak berhasil mendongkrak penerimaan pajak secara signifikan. Mengonfirmasi studi yang dipaparkan Najeeb Memon dalam  “Designing a Tax amnesty – One Size Does Not Fit All,”  Asia-Pacific Tax Bulletin, Vol 21, No. 1 (2015), bahkan menunjukkan fakta mengkhawatirkan, yakni sebagian besar pelaksanaan pengampunan pajak di negara berkembang tidak berhasil.

Dalam jangka panjang cenderung merugikan penerimaan pajak negara itu sendiri. Ihwal tersebut terjadi karena model atau skema pengampunan pajak dipandang oleh sebagian Wajib Pajak bukan merupakan resolusi nasional dalam rangka perbaikan adminitrasi pemungutan pajak secara komprehensif melalui penguatan basis data dan upaya law enforcement yang tegas dan berkelanjutan. Karena itu, pendekatan jangka pendek, yang targetnya hanya menutup defisit anggaran, tentu akan menemui kegagalan. Pada gilirannya, negara disandera oleh pihak-pihak tertentu yang punya rekaman jejak bermasalah dan penyimpan dana besar di luar negeri.

Keadilan

Dalam kerangka menghindari kegagalan, maka asas keadilan harus ditegakkan. Sejatinya, kebijakan pengampunan pajak merupakan salah satu usaha yang dilakukan Pemerintah untuk memberikan peluang kepada wajib pajak yang selama ini tidak patuh untuk melaporkan penghasilannya dan membayar pajak secara sukarela melalui skema pemberian insentif. Secara sederhana, adanya kondisi memaafkan dari perspektif pemerintah kepada Wajib Pajak atas kesalahan di masa lalu (Wibawa, 2016).

Namun, dalam studi teori keadilan, seperti yang diulas Aristoteles dan Plato dalam pelbagai karya magnum opus-nya, terdapat dua hal keadilan yang berkait pengampunan pajak, yakni teori keadilan distributif dan teori keadilan prosedural  Ihwal teori keadilan distributif, terjadi tatkala adanya isu pengampunan pajak yang dianggap lebih membela pengemplang pajak dan menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak yang selama ini sudah patuh hal itulah juga menjadikan persepsi yang buruk terhadap kebijakan pengampunan pajak.

Sementara itu, konsep dasar teori keadilan prosedural terjadi ketika sudut pandang uraian keadilan distributif di atas seharusnya dapat dibalik. Artinya, jika pemerintah hanya menunggu semua masyarakat yang patuh dalam membayar pajak, justru akan menjadi lebih tidak adil bagi wajib pajak yang selama ini sudah patuh karena beban pajak tidak terdistribusi secara adil kepada masyarakat. Dengan demikian, hanya sebagian kecil Wajib Pajak saja yang akan menanggung beban pajak. Atas dasar kegalauan tersebut, maka program pengampunan pajak pantas dan perlu untuk dilaksanakan.

Untuk mendukung ihwal itu, dibutuhkan sosialisasi program tax amnesty secata sistemik dan komprehensif sehingga mampu dipahami masyarakat secara jelas dan konkret mengenai tujuan dan manfaat program (Wibawa, 2016). Perbaikan struktural yang harus dilakukan pemerintah pasca program tax amnesty mencakup kebijakan ekonomi yang secara langsung maupun  tidak langsung berpengaruh terhadap usaha Wajib Pajak. Penegakan hukum pajak yang lebih tegas setelah masa pengampunan berakhir merupakan hal yang penting guna memastikan efektivitas dan manfaat dari program tax amnesty dalam jangka panjang. Dengan pola seperti itu, setidaknya bisa mengurangi kegalauan dan tensi pragmatisme kebijakan, serta lebih memprioritaskan persiapan perangkat dan diseminasi kebijakan pengampunan pajak ke masyarakat.

DIREKTORI KHUSUS