Font Size

SCREEN

Profile

Layout

Direction

Menu Style

Cpanel

Urgensi Infrastruktur Publik

Infrastruktur publik, tidak semata jalan, jembatan, bendungan, bandara, pelabuhan, perlistrikan, telekomunikasi dan lainnya. Ia memiliki pemaknaan yang luas, tidak sekadar fisik (hard infrastructure), tapi juga berspektrum sosial-budaya (soft infrastructure), seperti sistem kelembagaan, regulasi, dan mekanisme sosial yang hidup di masyarakat. Dengan demikian, infrastruktur publik sejatinya merupakan infrastruktur fisik yang bisa mendukung (supporting) dan didukung (supported) oleh penguatan kualitas dan mobilitas sosial-budaya masyarakat.

Dalam konteks mobilitas ekonomi masyarakat, dukungan infrastruktur publik menjadi necessary condition. Terjadinya fakta kesenjangan antardaerah/wilayah misalnya, lebih banyak dipicu kesenjangan ketersediaan infrastruktur publik. Data membuktikan, pada 2013, dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, sebanyak 57,6% dihasilkan di Jawa dan Bali, 23% disumbang Sumatera, dan 9,8% dari Kalimantan. Sedangkan, Kawasan Timur lainnya seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya menghasilkan kisaran 9%. Fakta ini, mengabarkan pesan, 80% kegiatan perekonomian berlangsung di Jawa dan Sumatera serta hanya 20% di Kawasan Timur Indonesia.

Konsekuensinya, pelbagai kesenjangan tersebut dapat dilihat bahwa Kawasan Timur Indonesia tertinggal nyaris dalam pelbagai aspek. Sebanyak 60% dari 183 kabupaten tertinggal terdapat di kawasan ini. Persentase penduduk miskin di kawasan ini juga dua kali lebih tinggi dari rerata nasional. Selain itu, ranking Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi, juga berada di peringkat paling bontot, yakni Papua, NTB, NTT, dan Papua Barat.

Lemahnya infrastruktur publik telah memicu kesenjangan dan ketertinggalan antardaerah. Implikasinya, disparitas ekonomi makin menganga, karena mobilitas arus jasa dan barang-barang kebutuhan pokok tersendat. Studi empiris Chandra dan Alla (2010), mengonfirmasi korelasi yang kuat antara ketersediaan infrastruktur publik dengan pendapatan per kapita masyarakat di pelbagai daerah. Berdasarkan studi analisis input-output itu, diketahui semua sektor infrastruktur di Indonesia memiliki dampak multiplier yang positif terhadap sektor perekonomian lainnya.

Dengan infrastruktur memadai, efisiensi yang dicapai oleh pelaku usaha dan mobilitas ekonomi masyarakat akan makin besar dan investasi yang didapat semakin meningkat. Todaro (2010: 143) mengkonstatasikan, tingkat ketersediaan infrastruktur di suatu negara adalah determinant factor bagi tingkat kecepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan dan pemerataan ekonomi yang favourable akan berakibat pada meningkatnya kebutuhan prasarana dan sarana sosial ekonomi. Sehingga, permintaan terhadap pelayanan infrastruktur akan meningkat pesat bertalian pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Infrastruktur Tergerus   
Sejak krisis ekonomi, pembangunan infrastruktur di Indonesia praktis berjalan di tempat, bahkan cenderung mengalami kemunduran, seperti yang terlihat dengan semakin menyusutnya panjang rel kereta api serta begitu rendahnya jumlah pembangunan jalan tol yang hanya 5 km per tahun (2010). Data Bank Dunia mengonfirmasi, bahwa porsi pembiayaan bagi pembangunan infrastruktur cenderung semakin menurun, dari sekitar 5 persen dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa sebelum krisis, hingga menjadi hanya sekitar 2 persen dari nilai PDB pada 2010.

Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi dan keuangan Indonesia tentu sudah saatnya pemerintah melonggarkan anggaran bagi pembangunan infrastruktur publik. Hal ini dengan anggapan telah terjadi keleluasaan fiskal (fiscal space) dalam neraca keuangan pemerintah. Namun, terjadinya kesenjangan antara permintaan terhadap jasa infrastruktur dan ketersediaannya akan sulit diatasi bila hanya mengandalkan dana pemerintah. Diperkirakan, total kebutuhan dana bagi pembangunan infrastruktur mencapai lebih dari Rp 5.100 triliun dalam jangka lima tahun (2015-2020). Kemampuan pemerintah hanya menyediakan anggaran sekitar 17 persen dari APBN.

Sementara itu Bank Dunia dalam laporannya awal Desember 2013 mengatakan bahwa dari 12 negara di Asia dan Australia diamati oleh Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat buruk untuk hampir semua sektor infrastruktur, yaitu penyediaan tenaga listrik, jalan, telekomunikasi, dan penyediaan air bersih.

Di sektor tenaga listrik, rasio elektrifikasi Indonesia hanya 53,4 persen, menempati peringkat 11 di atas India yang rasio elektrifikasinya 43 persen. Untuk sektor telekomunikasi, Indonesia berada di peringkat terakhir untuk pengadaan telepon tetap (fixed line) dengan rasio 3,6 per 100 penduduk, dan peringkat sembilan untuk telepon seluler dengan rasio 5,5 per 100 penduduk.

Pada sektor penyediaan air bersih, Indonesia berada di peringkat tujuh dengan akses pelayanan air bersih hanya dimiliki 16 persen dari populasi penduduk. Adapun pada sektor jalan, Indonesia berada pada peringkat delapan dengan panjang jaringan jalan 1,7 kilometer per 100 penduduk.

Meskipun ada kemajuan, tidak banyak yang berubah dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. Kurang optimalnya penggunaan sumber daya publik, subsidi yang salah sasaran, dan tidak adanya modal, memperburuk situasi ekonomi. Sehingga kurangnya penanganan infrastruktur telah mempengaruhi prospek pertumbuhan dan pemerataan kesempatan ekonomo, dan sulit mencapai target mengurangi kemiskinan.

Aspek Pendanaan
Dalam situasi kebijakan pemerintah terhadap pengetataan anggaran demi disiplin pasar, maka pembangunan infrastruktur harus melibatkan investor swasta. Hanya masalahnya, investor swasta dan  asing  hanya mau membangun jika mempunyai prospek keuntungan lebih besar daripada biaya investasi. Selain itu, investor swasta hanya mau berinvestasi dalam jumlah besar jika pemerintah konsisten terhadap kebijakan yang dibuatnya, misalnya dalam hal tarif, hak pengelolaan, dan sebagainya.

Demikian juga swasta asing, kendati mempunyai keahlian dan dana, mereka tidak berani tanpa jaminan pemerintah.  Misalnya, pada kasus Telkom, pemerintah harus mengambil alih proyek KSO dan pemerintah harus menghadapi tuntutan investor listrik asing di pengadilan karena investor asing menuntut pencairan penjaminan pemerintah. Oleh karena itu, jika mengundang investor asing lagi untuk membangun infrastruktur, maka pemerintah jangan memberikan jaminan, cukup memberi jaminan keamanan, stabilitas makro, dan koordinasi dan konsistensi regulasi.

DIREKTORI KHUSUS