Font Size

SCREEN

Profile

Layout

Direction

Menu Style

Cpanel

Jaringan Saudagar Muhammadiyah

Oleh: Mukhaer Pakkanna, SE., MM (Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta)

Pada 11-13 Desember 2015, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah menggelar temu Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) di Surabaya, Jawa Timur. Pertemuan ini tidak sekadar membangkitan romantisme dan nostalgia terhadap masa-masa kebangkitan para saudagar Muhammadiyah di awal-awal berdirinya.

Bukan sekadar amanat Muktamar Muhammadiyah ke-47 Makassar yang di-tanfidz-kan dalam visi, yakni bangkitnya etos dan kreatiftas ekonomi dalam menguatkan kemandirian Muhammadiyah sebagai wujud kontribusi persyarikatan bagi kebangkitan ekonomi umat dan bangsa. Tapi, pertemuan ini merupakan momentum dari kesadaran baru bahwa saudagar Muhammadiyah harus bergerak dan berjamaah dalam membangun etos dan praksis ta’awun warga. Upaya ini dilakukan agar Muhammadiyah dan warganya mandiri, dalam membangun agama dan bangsa.

Romantisme sejarah membuktikan, bahwa pada periode awal pergerakan, Muhammadiyah selalu diinisiasi oleh kaum saudagar. Mereka ini berfungsi ganda, selain sebagai juru dakwah, juga sebagai saudagar dalam mensyiarkan Islam di mana mereka berkunjung. Periode awal, para saudagar Muhammadiyah sukses membangun kemandirian organisasinya. Figur Kiai Dahlan sebagai tokoh sentral dan merupakan prototype saudagar sejati, kerap berdagang di berbagai kota.

Bahkan, Kiai Dahlan selalu mengajarkan murid-muridnya untuk menjadi orang yang mandiri secara ekonomi. Hasilnya, cukup mencengangkan. Pada tahun 1916, kaum saudagar yang menjadi anggota persyarikatan Muhammadiyah, tercatat dalam sejarah mencapai 47% dari total anggota Muhammadiyah.

Momentum Kebangkitan
Dalam aspek momentum, saatnya sekarang saudagar Muhammadiyah bangkit berjamaah. Di tengah rendahnya jumlah saudagar yang hanya 0,8% di banding Negara tetangga. Penduduk Singapura yang menjadi saudagar mencapai 7,2%, Malaysia 2,1%, Thailand 4,1%, Korea Selatan 4%, China dan Jepang mencapai 10%, sedangkan yang tertinggi adalah AS sebesar 11,5-12%. Teringat kembali uraian, David McClelland (1961) menulis, suatu Negara akan menjadi makmur jika jumlah saudagar mencapai 2% dari penduduknya. Jumlah penduduk Indonesia saat ini 215 juta jiwa, merupakan Negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat setelah China, India, dan AS. Namun, di balik jumlah penduduk yang begitu besar, potensi ini belum diimbangi dengan jumlah saudagar.

Dengan angka di bawah 1%, dikhawatirkan kualitas angka-angka makro ekonomi Indonesia, masih disangsikan nasibnya ke depan. Bank Dunia (2013), PDB Indonesia berada di atas angka US$706,558 milyar atau berada pada posisi 17 besar ekonomi dunia, bahkan diprediksi  pada tahun 2025, PDB Indonesia berada pada posisi US$3,8–4,5 trilun atau pendapatan perkapita sebesar US$13.000-16.100. Dalam kondisi ini, Indonesia akan berada pada posisi 12 negara sebagai kekuatan “episentrum” ekonomi besar dunia.

Sejatinya, kualitas pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita tinggi, harus paralel dengan berkurangnya jumlah masyarakat miskin, tereduksinya disparitas ekonomi, dan  tertekannya angka pengangguran. Data BPS 2013 mengonfirmasi, sekitar 20% atau 47,6 juta  penduduk Indonesia --dua kali penduduk Malaysia--  hidup makmur dengan pendapatan di atas Rp120 juta atau US$13.000 per tahun. Mereka inilah yang memacetkan jalan raya dengan mobil dan sepeda motor, memenuhi bandara untuk bepergian dengan pesawat terbang, meramaikan mal dan pusat perbelanjaan, serta membeli produk properti. Di atas itu terdapat  5% atau 12 juta penduduk Indonesia hidup dengan pendapatan di atas Rp500 juta atau US$55.000 setahun. Kelompok inilah yang memiliki portofolio investasi di saham, obligasi, dan reksadana. Sisanya, sebanyak 75% adalah masyarakat miskin yang jumlah pengeluarannya sekitar Rp7000 per hari.

Dalam piramida pendapatan penduduk Indonesia, sekitar 40% penduduk ada di tengah dan 40% lainnya di bagian paling bawah.  Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita Indonesia, diiringi melebarnya angka disparitas atau kesenjangan ekonomi antarpenduduk dan wilayah mengindikasikan, dinamika ekonomi Indonesia pada strata bawah dalam piramida ekonomi Indonesia tidak ditopang oleh jumlah dan kualitas saudagar di level menengah-bawah. Data itu mengonfirmasi, ekonomi Indonesia ternyata hanya dihela segelintir kekuatan strata atas piramida penduduk, atau dimaknakan bahwa kekuatan ekonomi Indonesia kurang melibatkan strata bawah masyarakat. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatan per kapita tidak berkualitas (semu).

Maka, untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, tidak ada jalan lain, kecuali meningkatkan kualitas kekuatan ekonomi strata menengah-bawah piramida ekonomi. Jika ingin membangun etos saudagar, tidak ada jalan lain, mentransformasikan sesuatu yang “kurang benilai” yang letaknya dalam level bawah (bottom of the pyramid), menjadi sesuatu bernilai tinggi, bahkan bernilai tambah yang luar biasa (Prahalad, C.K, 2011).

Membangun Jaringan
Dengan peta kondisi ekonomi Indonesia di atas, Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan, perlu merumuskan pola gerakan ekonomi yang mampu melibatkan bottom of the pyramid. Dengan demikian temu Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM), tidak sekadar pertemuan paguyuban dan membangun bisnis pribadi antarwarga, tapi harus memiliki misi pemberdayaan. Karena itu, JSM harus mampu merumuskan.

Pertama, membangun usaha ekonomi masyarakat rentan (mikro). Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM (2014), jumlah usaha mikro dan kecil di Indonesia 55,162 juta unit usaha atau 99,91 persen dari total unit usaha di Indonesia. Usaha mikro dan kecil di Indonesia menyerap 98,877 juta pekerja atau 94,52 persen dari total pekerja di Indonesia. Mereka ini dicitrakan sebagai small is beautiful. Usaha-usaha mikro seperti ini, masih lebih kuat dicirikan pada “zona nyaman”, yang kerap sulit dipacu menjadi besar. Dalam krisis finansial global dewasa ini agaknya penguatan terhadap kelompok ini memerlukan dukungan karena di tangan merekalah denyut sektor riil berputar setiap hari.  Karena itulah, konsep one village one BMT/BTM yang digulirkan Asosiasi Baitul Maal Wat Tamwil (Absindo), perlu mendapat sambutan.  Hanya persoalan, sejauhmana fungsi-fungsi pemberdayaan BMT/BTM di masyarakat dalam mengangkat derajat usaha small is beautiful ini?

Kedua, membangun jejaring usaha yang memiliki manfaat sosial yang tinggi. Usaha-usaha yang bergerak di bidang pertanian, perikanan, usaha kerajinan rakyat, usaha padat karya, usaha yang menyerap konsumen (pasar) masyarakat menengah ke bawah (usaha retail, usaha distribusi, usaha ekonomi kreatif, dan lainnya) perlu banyak difokuskan. Karena itu, JSM perlu memeta jenis usaha yang mampu memproduksi jenis substitusi impor. Serbuan produk asing terutama dari China dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor usaha mikro jika saudagar Muhammadiyah tidak segera mengantisipasinya.

DIREKTORI KHUSUS