Font Size

SCREEN

Profile

Layout

Direction

Menu Style

Cpanel

Quo Vadis Paket Kebijakan Ekonomi

Hanya dalam rentang waktu 6 (enam) pekan (9 September – 23 Oktober 2015), pemerintah telah menggelontorkan 5 (lima) Paket Kebijakan Ekonomi (Paket I-V). Tentu tujuan paket itu, memberi stimulasi para pelaku ekonomi agar memaksimalkan daya geraknya. Pemerintah kemudian mendorong proses deregulasi, debirokratisasi, meningkatkan daya saing pelaku ekonomi, memberi proteksi, perlindungan hukum, kebijakan KUR, hingga pada kebijakan pengupahan, baik di sektor riil maupun sektor keuangan. Ibaratnya, pemerintah memuntahkan pelbagai peluru agar sasaran lawan bisa ditaklukkan, yakni pelemahan ekonomi yang dipicu depresiasi rupiah.

Pertanyaan menarik dari serangkaian “peluru” itu yakni, pertama, apakah sudah tepat sasaran tembak yang dituju? Kedua, bagaimana kesiapan kelembagaan di tingkat implementasi kebijakan? Secara umum terkesan,  pemerintah telihat mulai bekerja keras, alih-alih hanya menguntungkan pihak pelaku usaha tertentu. Dan kemudian, terkesan persiapan paket kebijakanya belum solid, apalagi digelontorkan dalam waktu berdekatan. Kita tahu, penyakit utama sistem birokrasi adalah daya adaptasi aransemen kelembagaan yang lambat di tingkat implementasi.

Tepat Sasaran?
Lima paket yang digelontorkan itu, hanya satu poin yang menyangkut nasib ekonomi rakyat, yakni kebijakan penurunan tingkat bunga KUR (Kredit Usaha Rakyat) dari 22 persen menjadi 12 persen serta perluasan penerima KUR. Itu pun belum detail model kebijakan peluasan penerima KUR yang diinginkan pemerintah. Sementara selebihnya, secara nyata paket itu hanya menguntungkan korporasi besar.

Ini mengindikasikan, ekspektasi pemerintah di tengah krisis ekonomi banyak berharap pada pelaku usaha ini, yakni jenis usaha besar yang memiliki daya saing global. Tingginya daya saing pelaku korporasi ini otomatis akan menggenjot hasil devisa, yang tentu diharapkan mampu menguatkan kurs rupiah, menguatkan pertumbuhan ekonomi, dan  kapasitas ekonomi nasional. Angin segar yang diciptakan melalui paket kebijakan itu telah memicu sentimen positif dan sentimen regional. Tidak mengherankan, jika indeks IHSG terdongkrak menjadi 4.507,19 dan kurs rupiah mulai menguat dari Rp14.760 menjadi Rp13.320 per US$1 (Bisnis, 15/10). Lantas, apakah sentimen positif ini telah menunjukkan tanda-tanda recovery?

Bangunan ekonomi bisa kokoh jika struktur dan fundamental ekonomi nasional kuat (Todaro, 2008). Dan kekokohan itu, tidak semata diciptakan pelaku korporasi besar, tapi perlu pelibatan atau partisipasi ekonomi rakyat secara luas. Struktur ekonomi tidak boleh menciptakan ketimpangan dan kesenjangan ekonomi yang menganga lebar (Sritua Arief, 1998). Pengalaman krisis ekonomi 1998 mengirimkan kabar, bahwa rapuhnya fundamental ekonomi telah merontokkan koporasi besar. Apa yang dilakukan pemerintah melalui serangkaian paket kebijakan deregulasi, yang memberi angin segar pada korporasi besar, dalam jangka panjang, bisa menjerumuskan nasib ekonomi pada pola ketimpangan yang menguat jika tidak diiringi paket kebijakan yang mengokohkan kekuatan ekonomi rakyat.

Karena itu, paket-paket ekonomi selanjutnya, harus memberi tempat pada usaha-usaha ekonomi rakyat. Bukan saja yang bersifat formal dan kecil, tapi juga usaha mikro dan informal yang bergerak sebagai petani, nelayan, buruh lepas, pembantu rumah tangga, dan lainnya. Data Kemenko UKM (2014) menyebutkan ada sekitar 95% atau 47.702.310 usaha mikro dari 50 juta pelaku usaha UKMK. Sementara usaha informal menurut BPS (2014) ada sekitar 59,81% atau 70,7 juta jiwa.  

Merekalah kekuatan ekonomi nyata yang berjibaku, berinteraksi, dan menyapa kehidupan rakyat. Sejatinya, merekalah yang menghidupkan gerak ekonomi kita. Tanpa mereka, fundamental ekonomi nasional hanya omong kosong. Merujuk pada program Nawacita Presiden Jokowi, menyebutkan pemerintah harus selalu melindungi segenap bangsa, termasuk melindungi usaha mikro dan informal.

Untuk merangsang pelibatan usaha ekonomi rakyat, kebijakan KUR yang masuk dalam agenda paket kebijakan pemerintah perlu di-review. Tingginya angka kredit macet (NPL) secara nasional pada program penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) 2014 yang  mencapai  angka 4,2% menjadi bukti. Bahkan, NPL KUR Bank Jabar Banten (BJB) sebagai kasus, sudah mencapai 18,9% per Juli 2014, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada 2013, tercatat 9,6%. Sementara PT Askrindo sebagai pihak penjamin KUR tampaknya keteteran karena minim suntikan modal dari pemerintah (Bisnis, 2/4/2014). 

Sehingga tidak mengherankan, jika banyak bank BUMN sudah mulai menghindar untuk diminta menyalurkan KUR. KUR dalam perspektif bank dianggap tidak bankable.

Aransemen Kelembagaan
Jika memang pada paket kebijakan ekonomi berikutnya pemerintah ingin menunjukkan keberpihakan pada usaha mikro dan informal, selain me-review kebijakan penyaluran KUR, pemerintah harus pula melakukan aransemen kelembagaan pemberdayaan. Pada konteks kebijakan penyaluran KUR, setidaknya pertama, pemerintah harus berani membongkar mindset bank. Bank harus pandai memahami kondisi sosial masyarakat. Bank tidak boleh hanya sekadar menggunakan “kaca mata kuda”.

Kedua, pemerintah seyogianya memberii aksesibilitas lembaga-lembaga keuangan mikro semi-formal, termasuk BMT/BTM  yang kredibel untuk ikut menyalurkan KUR. Mereka lebih paham realitas sosial budaya nasabah. Ketiga, gunakan pola jemput pola dan sistem tanggung renteng dalam pengelolaan dana KUR. Dan keempat, lakukan evaluasi mingguan terhadap penyaluran KUR. Tentu, pola-pola seperti ini harus disertai pendampingan, sanksi sosial, dan dilakukan secara selektif (uji kelayakan) kepada calon nasabah.

Namun yang paling penting, pemerintah perlu melibatkan lembaga-lembaga pendampingan. Boleh unsur perguruan tinggi (PTN/PTS), karena PTN/PTS sendiri memang diwajibkan berkhidmat dalam dharma pengabdian atau pemberdayaan masyarakat.  Dalam konteks pemberdayaan itu, PTN/PTS bersama pemerintah melakukan fungsi-fungsi enabling, berupaya menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Demikian pula, perlu melakukan fungsi empowering sehingga terjadi penguatan potensi yang dimiliki masyarakat. Selanjutnya, perlu regulasi mengandung arti melindungi (fungsi avocation). Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah (Kartasasmita; 2002).

DIREKTORI KHUSUS