Font Size

SCREEN

Profile

Layout

Direction

Menu Style

Cpanel

MENGGERAKKAN EKONOMI PANCASILA

Setiap bulan Juni, dikenang sebagai bulan Pancasila. Bahkan, Presiden Jokowi secara resmi mengesahkan, 1 Juni adalah hari lahir Pancasila. Dalam konteks ekonomi, pertanyaan reflektif yang menggelayut, bagaimana merevitalisasi roh Pancasila itu secara riil di masyarakat tatkala makin maraknya budaya kanibalisme ekonomi dan politik? Fakta penting dari rangkaian persoalan itu adalah, soal keadilan. Dalam konteks apapun, termasuk di bidang ekonomi, keadilan ekonomi menjadi jantung tegaknya perekonomian nasional.

Tidak mengherankan, jika Mubyarto menguraikan, Pancasila secara utuh maupun sendiri-sendiri mengandung  5 asas. Semua substansi sila Pancasila yaitu (1) etika, (2) kemanusiaan, (3) nasionalisme, (4) kerakyatan/demokrasi, dan (5) keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model ekonomi yang disusun. Kalau sila pertama dan kedua adalah dasarnya, sedangkan sila ketiga dan keempat sebagai caranya, maka sila kelima Pancasila adalah tujuan dari Ekonomi Pancasila.

Karena itu, membangkitkan roh ekonomi Pancasila, tidak semata sosialisasi empat pilar oleh MPR RI, tapi bagaimana memformulasikan aksi kelembagaan, yang mampu merangsang prakarsa ekonomi rakyat. Aksi kelembagaan, menjadi infrastruktur membangun demokrasi ekonomi. Kata Bung Hatta, demokrasi ekonomi didasarkan pada: “..kemakmuran masyarakatlah yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang.. kemakmuran bagi semua orang… produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat…”. 

Pelanggaran Pancasila
Demokrasi ekonomi, meniscayakan terbukanya ruang partisipasi dan emansipasi pelaku ekonomi rakyat. Karena itu, diperlukan simultansi transformasi sosial dan ekonomi, guna membangkitkan gerakan ekonomi yang berwajah kebersamaan dan kekeluargaan. Dalam pasal 33 UUD 1945, terang benderang menyebutkan, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.  Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.“

Dengan dasar itu, sejatinya kebijakan ekonomi harus “disusun” sesuai makna demokrasi ekonomi. Secara imperatif, Negara harus menyusun dan mendesain sistem kelembagaan. Kata Swasono (2010), wujud “ketersusunan”, yaitu sebagai usaha bersama berdasar mutualisme (kepentingan bersama). Oleh karena itu, kebijakan ekonomi yang “menggadaikan” Negara melalui rezim mekanisme pasar yang memihak pemilik modal kakap, harus dilawan.

Meruyaknya pelbagai regulasi yang diproduksi para politisi di legislatif dan eksekutif yang tidak memihak kepada demokrasi ekonomi, menjadikan publik sangsi. Bayangkan, sejumlah peraturan (regulasi) dibuat dan atau direvisi untuk memuluskan investasi korporasi multinasional. Lucunya, tatkala investasi merusak alam misalnya, negara gagap berbuat banyak untuk menyelamatkan sumber daya alam ini. Kegagapan Negara dalam “menyusun” kebijakan ekonomi, menjadi ruang korporasi rakus untuk “bermain”.

Atas nama pembangunan, negara justru membela korporasi multinasional itu ketimbang rakyatnya. Di Mimika, Papua, pemerintah memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia (FI), kendati eksplorasi raksasa tambang emas ini merusak keseimbangan ekologis. Bahkan, secara terang benderang PT FI menolak pembayaran pajak ke Pemrov Papua senilai Rp2,7 triliun (2010). 

 Merujuk data Indone¬sia Corruption Watch (ICW), kon¬trak karya PT Freeport Indo¬nesia berlaku hingga 2021 telah menimbulkan potensi kerugian ne¬gara akibat kekurangan pene¬rimaan royalti sebesar Rp1,591 triliun. Nilai potensi kerugian negara tersebut, didasarkan perhitungan hasil nilai royalti selama kurun waktu 2002-2012, dibanding pelaporan pem¬bayaran royalti Freeport.

Selanjutnya, di Cepu, Bojonegoro, Negara lebih memilih ExxonMobil untuk mengelola cadangan minyak dibanding menyerahkannya kepada perusahaan lokal. Di Minahasa, Sulawesi Utara, pencemaran Teluk Buyat oleh PT Newmont yang menyebabkan penyakit minamata di kalangan penduduk sekitar.

Demikian juga, lam¬ban¬nya renegosiasi kontrak karya sesuai perintah dalam UU Minerba, terang benderang melanggar Pasal 33 UUD 1945. Konsekuensinya, ekploitasi besar-besaran telah menyengsarakan rakyat. Tampaknya, Pemerintah sedang mendegradasi kepentingan daerah dan melakukan pelanggaran konstitusi demi ekploitasi alam secara besar-besaran (Ida, 2012).

Kelembagaan Ekonomi    
Dalam rangka membangkitkan prakrasa ekonomi rakyat, sesungguhnya tidak sulit. Selain kita telah memilki dasar konstitusi ekonomi yang didasarkan pada kebersamaan dan kekeluargaan, juga dalam fakta kehidupan masyarakat, telah berkembang lama model kelembagaan ekonomi informal. Justru, kelembagaan informal itu  menjadi infrastruktur sosial dalam membangun demokrasi ekonomi.

Telah lamanya hidup kearifan lokal di tengah masyarakat, menjadi modal sosial  membangun kelembagaan ekonomi rakyat. Kearifan lokal, diartikan sebagai sebuah sistem dalam tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi dan lingkungan yang hidup di dalam masyarakat lokal. Karakter khas yang inherent dalam kearifan lokal yakni sifatnya dinamis, kontinyu dan diikat dalam komunitasnya.

Karena itu, dalam kearifan lokal dikenal adanya sanksi bagi anggota masyarakat yang dianggap melanggar tata kehidupan yang disepakati. Kearifan lokal merupakan common-sense bagi masyarakatnya. Intinya, dalam kearifan lokal mengejawantah dalam bentuk seperangkat aturan, pengetahuan dan ketrampilan serta tata nilai dan etika yang mengatur tatanan sosial komunitas yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.  

Dalam konteks membangkitkan Empat Pilar hidup berbangsa itu, prakarsa untuk menggali kembali kearifan-kearifan lokal yang telah banyak digusur rezim Orde Baru, harus menjadi prioritas bagi petinggi MPR RI. Prakarsa membangkitkan kearifan ekonomi lokal, misalnya, model lumbung padi, sistem jimpitan, koperasi rakyat, warung desa, dan tradisi-tradisi ekonomi lokal, menjadi titik perhatian untuk digelorakan.

Karena itu, budaya pertanian Subak di Bali sebagai kasus misalnya, yang merupakan warisan budaya, basis pertanian, yang mengenal tradisi palemahan, pawongan dan parahyangan, menjadi contoh kearifan ekonomi lokal, yang mampu memicu peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian.

 Demikian juga, pada kasus tradisi perahu Sendeq, suku Mandar, Sulawesi Barat, telah menstimulasi peningkatan ekonomi masyarakat nelayan. Lautan yang dalam merupakan halaman rumah-rumah suku Mandar. Begitu mereka bangun dari tidur langsung disapa gemuruh air laut dan dibelai semburan angin laut. Kondisi inilah yang mengajarkan masyarakat Mandar untuk beradaptasi dan survival membangun ekonominya secara kontinyu. Maka, di situ pulalah sejatinya ekonomi Pancasila tegak berdiri menyinari perekonomian nasional.

DIREKTORI KHUSUS