Font Size

SCREEN

Profile

Layout

Direction

Menu Style

Cpanel

BISNIS APLIKASI = BISNIS BERBAGI ?

Kericuhan yang dipicu demo anarkis para sopir taksi dan pengemudi umum telah mengganggu aktivitas ekonomi ibukota negara, DKI Jakarta, pada Selasa (22/3). Perseteruan antara bisnis layanan taksi konvensional dengan bisnis layanan taksi berbasis sistem aplikasi online menjadi biang pemantiknya. Bukan saja terjadi di ibukota negara, tapi sebelumnya telah meruyak di pelbagai penjuru ibukota negara maju lain, terutama belahan Eropa dan Amerika, hingga ke India dan Cina.

 

Tidak pelak lagi, masyarakat di ibukota pun terpecah. Bagi pelaku bisnis konvensional yang telah berada dalam zona nyaman (comfort zone) merasakan sistem aplikasi itu dianggap wabah unnatural. Bisnis yang unnatural ibarat bubble economy, mudah ambruk karena tidak disokong fundamental manajerial yang kokoh. Sementara, bagi pelaku bisnis berbasis aplikasi menganggap bisnis konvensional sudah di ujung tanduk. Tingkat produktivitas jenuh dan tergerus, karena disandera oleh efisiensi dan efektifitas rendah. Bahkan, pada kasus taksi konvensional, terjadi high cost economy karena dijerat pelbagai regulasi, pungutan illegal dan banyak kepentintanga rent seeker.

Lantas mengapa bisnis berbasis aplikasi ini begitu menarik? Bukan saja bagi para investor kakap multinasional tergiur menanamkan investasinya, tapi juga masyarakat umum kelas menengah ke bawah pun ikut menikmati layanan murah, ramah, transparan, dan akuntabel. Pertanyaan selanjutnya, apakah layanan mereka itu kompatibel dengan spirit ekonomi Islam dan nasionalisme ekonomi kita? Dalam konteks itulah, ada dua pendekatan dari bisnis sistem apllikasi online, yakni sharing economy dan discruptive innovation, yang perlu ditelaah karena ia telah bersentuhan langsung pada segmentasi basis ekonomi masyarakat bawah perkotaan.

Dua Pendekatan
Keunggulan sistem aplikasi dalam bisnis, terutama untuk jasa transportasi, karena memanfaatkan pendekatan sharing economy dan disruptive innovation. Dalam sharing economy, seperti yang diulas Georgios Peterpoulos dalam Uber and the economic impact of sharing economy platforms (22/2/16), menekankan pelibatan bisnis public sharing, bukan lagi dalam kerangka owning sharing. Artinya, bisnis yang melibatkan ruang partisipasi publik dengan sistem aplikasinya membuat publik ikut merasakan manfaatnya. Bukan saja bagi driver atau pemilik kendaraan tapi juga bagi konsumen. Pelibatan dua stakeholders ini, telah memacu efisiensi dan produktivitas tinggi dalam bisnis.

Dalam konteks operasionalisasi sharing, juga terlihat dalam rumusan bagi hasil melalui platform online, di mana 80-95% dari setiap tarif dimiliki driver dan sisanya diserahkan ke Uber. Uber hanya menyewakan aplikasi yang dihitung per tarif penumpang, sementara driver tidak terobsesi mengejar target atau setoran sehingga user-friendly. Maka tidak mengherankan, jika ukuran pertumbuhan ekonomi Uber dianggap unnatural, tumbuh tidak terkendali. Hingga akhir Desember 2015, misalnya, aplikasi Uber memperoleh nilai valuasi US$6 milyar atau Rp780 triliun sejak berdirinya enam tahun lalu. Tentu valuasi ini melampaui valuasi perusahaan selama 100 tahun, terutama dibandingkan perusahaan kakap, General Motors dan Ford, serta perusahaan "tradisional" jaringan jasa transportasi dunia, seperti Hertz dan Avis di USA (http://bruegel.org).

Bagaimana dengan pendekatan disruptive innovation? Clyayton Christensen dkk dalam What Is Disruptive Innovation? (25/12/05), menguraikan bahwa inovasi ini telah memanfaatkan aplikasi sederhana dengan menggarap segementasi basis masyarakat bawah yang selama ini kurang digarap serius oleh pendekatan konvensional. Dengan pendekatan disruptive, perusahaan tidak perlu berdiri secara formal, tidak perlu organisasi yang rapi dan ketat, tidak banyak melibatkan karyawan dan rantai kendali manajemennya pun sederhana. Tentu, model pendekatan bisnis seperti ini menyulitkan pihak regulator (pemerintah) dalam treatment policy. Demikian pula, lambat atau cepat, disruptive innovation akan segera merontokkan bisnis dengan pendekatan formal yang konvensional.  

Nilai Berbagi
Secara prinsip, pendekatan sharing economy sangat kompatibel dengan prinsip berbagi dalam ajaran Islam. Dalam Islam, dikatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia paling bermanfaat (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni). Tatkala menjalankan roda bisnis, hendaknya kaum muslim lebih mengutamakan akhlak mulia daripada sekadar mencari keuntungan. Sedangkan keuntungan merupakan side effect akibat menjalankan bisnis yang benar sesuai syariat. Dalam sharing economy, selain dibutuhkan aqad yang transparan dan akuntabel, juga dibutuhkan niat yang tulus. Ketulusan inilah melahirkan prinsip saling membagi (sharing).

Allah SWT berfirman bahwa “Dia akan membalas setiap kebaikan hamba-hamba-Nya dengan 10 kebaikan”. Bahkan, di ayat yang lain dinyatakan 700 kebaikan. Khalifah Ali bin Abi Thalib menyatakan, ''Pancinglah rezeki dengan saling membagi''. Selain  itu, saling membagi dapat menolak bala. Rasulullah SAW bersabda, ''Bersegeralah saling membagi sebab yang namanya bala tidak pernah bisa mendahului saling membagi''.

Bahkan, prinsip saling membagi itu dapat menyembuhkan penyakit. Rasulullah SAW menganjurkan, ''Obatilah penyakitmu dengan saling membagi, dan saling membagi dapat menunda kematian dan memperpanjang umur. Kata Rasulullah SAW, ''Perbanyaklah saling membagi, sebab saling membagi bisa memanjangkan umur.''

Dalam konteks pendekatan sharing economy di dalam bisnis aplikasi online, sejatinya telah memanfaatkan nilai-nilai ekonomi Islam. Hanya persoalannya, tatkala bisnis aplikasi ini menggurita, banyak pihak kapitalis jahat memanfaatkan bisnis sistem layanan ini untuk mengeruk surplus ekonomi. Menurut CK Prahalad  dalam The Fortune at the Bottom of the Pyramid: Eradicating Poverty through Profits (2004), sejatinya surplus ekonomi itu terletak pada segmentasi masyarakat bawah (bottom of the pyramid). Secara kuantitatif, empat miliar orang miskin di dunia dan sekitar 30 juta di Indonesia, adalah pasar potensial yang besar.

Dari sudut daya beli riil, potensi pasar bottom of the pyramid lebih dari 13 triliun dollar AS, melebihi nilai total pasar Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia.  Sehingga tidak mengherankan, esksistensi bisnis sistem aplikasi tentu secara telanjang memanfaatkan untuk mengeruk surplus ekonomi pada pasar bottom of the pyramid  untuk kepentingan kapitalis jahat. Tentu, dengan memafaatkan komparadornya di setiap negara berkembang yang berpenduduk besar. Jika ini terjadi, nasionalisme ekonomi bisa dipertaruhkan. Wallahu ‘alam.

DIREKTORI KHUSUS