Font Size

SCREEN

Profile

Layout

Direction

Menu Style

Cpanel

Etos Saudagar Muhammadiyah

Pada 13-14 Mei 2016, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah menggelar temu Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) di Yogyakarta. Wahana ini tidak sekadar ritual membangunkan romantisme terhadap masa-masa awal kebangkitan para saudagar Muhammadiyah, tapi menjadi momentum membangkitkan etos kemandirian persyarikatan.  

Mengapa etos ini perlu digelorakan? Fakta berbicara, di tengah masyarakat masih banyak menyeruak stigma terhadap profesi saudagar, yang diasumsikan sebagai; sifat eksploitatif, agresif, ekspansif, egois, tidak mau rugi, hitung-hitungan, pelit, tidak jujur, curang, tidak terbuka, sumber penghasilan tidak stabil, ketidakpastian kehidupan, kurang terhormat, dan lainnya. Tidak mengherankan, jika banyak orangtua yang tidak menginginkan anak-anaknya terjun dalam profesi sebagai saudagar.

Bahkan, banyak orangtua mengatakan ”untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika hanya menjadi saudagar alias pedagang”. Sayangnya, stigma ini pula menjangkiti saudagar-saudagar muslim generasi pertama, yang dulunya sukses mengembangkan jaringan usaha di beberapa sentra bisnis di Tanah Air, yang awalnya dikuasai saudagar Islam, tapi pada periode generasi berikutnya, akhirnya gagal. Generasi pertama sukses, tapi pada generasi keduanya gagap melanjutkan.

Stigma seperti itu sudah mengental dan menjadi pemahaman umum masyarakat. Padahal menjadi saudagar adalah kegiatan mulia. Pernah suatu ketika Rasulullah SAW, ditanya para sahabat, ”Pekerjaan apakah yang paling baik ya Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab, ”seseorang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih” (HR. al-Bazzar). Konstatasi tersebut mengabarkan, Islam mengajarkan umatnya menjadi saudagar, dan bahkan sepanjang sejarah Muhammad SAW dan para sahabatnya tidak sedikit sebagai pelaku usaha (saudagar). Dan tidak dimungkiri, masuknya Islam ke Indonesia juga melalui jalur saudagar.

Bagaimana Muhammadiyah?
Melacak sejarah, bahwa pada periode awal pergerakan, Muhammadiyah selalu diinisiasi oleh kaum saudagar. Mereka ini berfungsi ganda, selain sebagai juru dakwah, juga sebagai saudagar dalam mensyiarkan Islam di mana mereka berkunjung. Pada periode awal, para saudagar Muhammadiyah sukses membangun kemandirian organisasinya. Figur KH Ahmad Dahlan sebagai tokoh sentral dan merupakan prototype saudagar sejati, kerap berdagang di pelbagai kota.

Bahkan, KH Ahmad tidak bosan mengajarkan murid-muridnya untuk menjadi orang yang mandiri secara ekonomi. Hasilnya, cukup impresif. Pada tahun 1916, kaum saudagar yang menjadi anggota persyarikatan Muhammadiyah, tercatat dalam sejarah mencapai 47% dari total anggota Muhammadiyah.

Mengapa Kiai Dahlan mengajarkan itu? Tentu,  terkait doktrin bahwa menjadi saudagar merupakan jalan cepat mandiri. Riwayat Rasulullah SAW; “Sembilan persepuluh dari sumber rezeki itu dari kegiatan saudagar”. Malah dinukilkan “Bahwa saudagar yang jujur dan amanah (akan ditempatkan) beserta para nabi, shidiqin dan para syuhada”(HR. Tt-Tirmidzi).

Etos saudagar telah terpatri dalam diri generasi awal Muhammadiyah. Hasilnya, tatkala itu Muhammadiyah cukup disegani dalam berdakwah, baik oleh pemerintah (kolonial dan pemerintah Indonesia) maupun masyarakat sipil lainnya. Tidak heran, telah menjadi kenangan indah, bagaimana para saudagar Muhammadiyah di Sumatera Barat, Bugis-Makassar, Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Tasikmalaya, Garut, dan lain-lain, mampu menggerakkan organisasi Muhammadiyah dengan kekuatan bisnisnya.

Namun kenangan indah, bahwa Muhammadiyah selalu dimotori kaum saudagar telah menjadi cerita masa lalu. Generasi Muhammadiyah dalam empat dekade belakangan ini bukan lagi dimotori kaum saudagar, tapi dijejali oleh kaum pamongpraja dan pegawai negeri sipil (PNS). Bahkan, dalam struktur kepengurusan Muhammadiyah, mulai dari Pimpinan Pusat (PP) hingga Pimpinan Ranting Muhamadiyah (PRM), sulit lagi ditemukan kaum saudagar.  Pelbagai perhelatan organisai pun selalu berharap sponsor pemerintah, pejabat dan pengusaha di luar kalangan warga Muhammadiyah. Pertanyaannya, mengapa etos saudagar warga persyarikatan semakin pudar?

Etos Saudagar
Hambatan terbesar untuk menjadi saudagar adalah etos keberanian. Budaya penakut dan bayangan terhadap risiko gagal, kerapkali menjangkiti setiap orang yang mau melangkah berbisnis. Rasa takut itu bermula dari dalam diri, karena tidak terbiasa dengan tanggungjawab. Boleh jadi, budaya kita sejak kecil selalu ditakut-takuti, baik oleh orang tua, guru maupun masyarakat (Khamsa, 2011). Kita diajari “tidak boleh ini dan tidak boleh itu”, karena dikhawatirkan akan terjadi “begini atau begitu”. Akibatnya, kita jadi penakut untuk melakukan sesuatu, karena takut gagal dan disalahkan orang. Orangtua, pendidik (guru), pendakwah agama, tokoh masyarakat, sesepuh masyarakat, dan lingkungan masyarakat, sejak dulu tidak mendidik kita untuk berani mengambil risiko, terutama berkaitan dalam risiko usaha.

Padahal keberanian adalah modal awal dalam menjejakkan kaki menjadi saudagar. Tanpa keberanian, tidak akan pernah bisa dimulai. Orang akan selalu dibayang-bayangi oleh perasaan takut rugi. Kesuksesan selalu dicapai dengan sebuah proses setelah melewati berbagai hambatan, sehingga tidak alasan untuk takut gagal. Karena kegagalan adalah, sebuah proses pembelajaran (Suyanto, 2008).

Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Setiap orang akan melalui suatu proses pebelajaran, maka tentu kemampuan orang juga akan semakin meningkat, sense of business juga meningkat sehingga kemampuan orang dalam menilai dan memilih bisnis semakin tepat. Sebenarnya, kata gagal hanyalah milik orang yang berhenti mencoba, berhenti berinovasi, dan berhenti berbuat. Artinya, orang yang takut gagal adalah orang yang keluar dari fitra kemanusiannya, atau orang yang menginterupsi sunatullah.

Selain etos keberanian sebagai modal awal dalam memulai usaha, hal yang sangat penting adalah selalu berfikir positif, selalu optimis bahwa kita akan berhasil. Berpikir positif dan optimis dapat dicapai dengan selalu berinteraksi dengan orang-orang yang bermental positif dan optimis dalam melakukan banyak hal. Maka, seringkalilah bergaul dengan komunitas yang sama visinya dengan kita karena energinya akan ikut mengalir kepada kita (Chandra & Deryandri, 2010).

Etos keberanian, tanggungjawab, jujur, amanah, berpikir positif, adalah serangkaian modal utama untuk menjadi saudagar. Tapi, sebagai umat Islam, yang mungkin boleh jadi, sebelum lahir sudah menjadi “Islam turunan”, bahwa serangkaian etos itu (keberanian, tanggungjawab, jujur, amanah, berpikir positif), sesungguhnya sudah diajarkan dan ditebar oleh Allah SWT melalui ayat-ayat-Nya atau sunatullah-Nya dalam al Qur’an dan di alam semesta? Bahkan, Rasulullah SAW dan para sahabatnya pun telah memberikan uswah (contoh teladan), bagaimana sejatinya berbisnis menurut ajaran dan perilaku Islam (Antonio, 2009). Tapi, mengapa umat Islam, terutama Muhammadiyah generasi sekarang ini, kurang memiliki perhatian dan keberanian untuk bergumul dalam dunia usaha?

DIREKTORI KHUSUS